Jam dinding di ruang belajar terus bergerak dengan gempita tanpa menunda-nunda, tik, tik, tik… detik demi detik terus berlalu di larut malam. Ketika pikiran-pikiran duniawi memenuhi dan mengaburkan pikiran, saya berusaha dengan sia-sia menyadarkan diri dari lamunan, dan mencoba mengguna-kan waktu yang tersisa di hari itu. Bagaimana mungkin waktu yang sudah saya persiapkan untuk Allah sekali lagi berlalu begitu saja? Tiba-tiba, perkataan si pengkhotbah di Pkh. 3:1-15 membanjiri pikiran. Bagian ayat itu sangat mengena bagi kita-kita yang harus bergumul dengan tekanan-tekanan tinggi di abad ke-21 ini. Waktu adalah komoditas yang sangat langka, yang mudah sekali “termakan”, terutama waktu-waktu yang sudah kita sediakan untuk hal-hal yang produktif dan rohani.
Begitu banyak hal yang harus dijejalkan dalam waktu 24 jam – pekerjaan, pembangunan usaha, pertemuan-pertemuan social, jadwal anak-anak yang padat, dan sebagian waktu untuk istirahat sejenak. Teknologi membantu mempercepat sebagian tugas kita, tetapi ia juga mendorong delera jejaring media social yang tampaknya tidak pernah puas, entah untuk mengupdate atau mengoleksi “likes” dan juga berjam-jam menelusuri intenet. Dalam dunia kita yang semakin kecil, beragam aktifitas yang terus bertambah, bersaing untuk mendapatkan prioritas hidup. Sayangnya, ada satu hal yang selalu dipinggirkan dalam pertempuran merebut waktu kita – waktu untuk Allah.
Memulihkan Imam Sederhana yang Terhilang di Dunia yang Rumit
Pernahkan kita bertanya-tanya mengapa kita tampaknya tidak emiliki tujuan dan keyakinan para pendahulu iman dalam perjalanan rohani kita di masa sekarang? Atau, mengapa perhatian kita mudah sekali teralih dari apa yang penting bagi kehidupan rohani kita? Ironisnya, ditengah kusutnya rutinitas duniawi kita sehari-hari, kita kehilangan kesederhanaan iman dan keyakinan kepada Allah, yang sangat penting untuk membangun kerohanian kita.
Misalnya, ketika teman-teman kita membawa anak-anak mereka ke berbagai les atau kelas pengembangan diri, kita kuatir anak-anak kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh masa depan yang baik kalua kita tidak turut melakukannya. Akibatnya, ibadah Sabat, KKR, kelas-kelas Alkitab untuk anak-anak atau bahkan Sekolah Sabat dan Minggu, mendapatkan prioritas lebih rendah daripada pendidikan secular, aktifitas pengembangan bakat, atau les-les piano, seni, dan lain sebagainya. Berapa banyak diantara kita yang mengorbankan pentingnya pertumbuhan dan pendidikan agama demi kegiatan-kegiatan duniawi, sembari berdalih bahwa itu semua adalah demi masa depan anak-anak kita? Tanpa sadar, kita sebenarnya mempertaruhkan kehidupan rohani anak-anak dan mengabaikan waktu yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah. Apakah Allah akan memberkati usaha-usaha kita?
Iblis tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memanfaatkan rasa tidak aman kita, sehingga kita merasa perlu untuk merencanakan dan menghabiskan waktu untuk untuk mencapai semua langkah-langkah keberhasilan yang dicapai oleh orang-orang duniawi. Lebih ironis lagi, kita selalu mengisi daya ponsel pintar dan beragam elektronik lainnya agar selalu siap sedia, tetapi tampaknya kita tidak pernah mempunyai waktu untuk mengisi daya kehidupan rohani kita.
Keberadaan berbagai perangkat pintar ini menjadi boomerang yang menyedot dan membuang waktu yang seharusnya diluangkan bagi Allah, dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan fana seperti media sosial dan internet. Ketika mengikuti kebaktian, saat kita menggu-nakan aplikasi Alkitab dan Kidung Rohani di ponsel atau tablet sembari berdalih untuk kemudahan, pernahkah jari kita “terpeleseta’’ dan membuka aplikasi-aplikasi seperti Facebook, atau WhatsApp? Berapa banyak diantara kita yang tenggelam di dunia maya, di tengah-tengah jam ibadah?
Untuk Segala Sesuatu Ada Waktunya
Namun bagi si pengkhotbah, yang memiliki banyak pengalaman dan hikmat dari Allah, dengan tegas mengatakan:
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun dibawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, … ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun, … ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara.” (Pkh. 3:1-3, 7 –)
Ayat ini adalah pengingat bahwa kita harus selalu meluangkan waktu bagi Allah; waktu untuk mencari apa yang kekal, mengerjakan keselamatan kita, dan membangun iman kita, di tengah tekanan-tekanan kehidupan abad modern yang seringkali membuat kita seperti ikan yang terdampar di daratan, kita harus memulihkan dan dan memelihara iman yang sederhana, bahwwa kita harus terlebih dahulu mencari kerajaan Allah. Secara alami, janji Yesus bahwa “Semuanya itu akan ditam-bahkan kepadamu” akan digenapi. Ingatlah, dalam kasih-Nya, Allah memberikan segala sesuatu yang kita perlukan, bukan yang kita inginkan (Ref. Rm. 8:28; Yak. 1:17).
Mensyukuri Waktu
Walaupun waktu ada di luar kendali manusia, tetapi kita dapat mengendalikan penggunaan waktu. Kita terus memperpanjang daftar pencapaian materi dan impian-impian untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, sehingga waktu untuk mengusahakan keselamatan rohani kita semakin sedikit. Karena letih dan lelah dengan marathon duniawi yang tidak henti-hentinya, kita justru meluangkan waktu untuk bepergian dan mengambil waktu santai ketimbang mengisi daya rohani kita.
Disaat seperti itu, kita harus merenungkan Pengkhotbah 3:9: “Apakah untung pekerja dari yang di-kerjakannya dengan berjerih payah?”
Karena berusaha berusaha menjadi tuan atas nasib kita sendiri, kita berencana dan berjerih lelah. Tetapi apakah yang kita dapatkan dari waktu dan usaha yang telah kita gunakan? Kalau pun kita hidup sampai berumur serratus tahun, dan wafat di dalam rumah, dan wafat di dalam rumah mewah bak istana, dengan layanan kesehatan terbaik (dan termahal), tidak lupa dikelilingi oleh segenap keluarga, apakah yang kita dapatkan dari hidup kita di dunia? Mari kita belajar dari orang-orang bijak di Perjanjian Lama:
Yakub, nenek moyang bangsa Israel, yang menghabiskan banyak waktu berusaha dan berencana, berkata kepada Firaun: “Tahun-tahun hidup-ku itu sedikit saja dan buruk adanya.” (Kej. 47: 9)
Musa, mantan pangeran negeri Mesir, mengiyakan hal ini: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” (Mzm, 90: 10)
Salomo, terkenal dengan hikmat dan harta kekayaannya, menyampaikan kenyataan yang pahit: “Kenangan-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak aka nada kenang-kenanganpun pada mereka yang hidup sesudahnya.” (Pkh. 1: 11)
Karena berusaha menjadi tuan atas nasib kita sendiri, kita berencana dan berjerih lelah. Tetapi apakah yang kita dapatkan dari waktu dan usaha yang telah kita gunakan?
Waktu yang telah kita gunakan, tidak akan kembali. Kita hanya dapat bergerak maju dan bertekad bahwa mulai sekarang kita harus menghitung hari-hari kita dan memperoleh hati yang berhikmat (Mzm. 90:12). Mulailah hidup kita dengan merenungkan hidup kekal, bukan dapa dunia materialism yang akan berakhir. Pulihkan cinta pertama anda pada Tuhan sekali lagi, dengan menempatkan-Nya sebagai prioritas utama dalam hidup anda. Buang semua penghalang dan kegiatan yang menghabiskan waktu Anda dari pembangunan rohani.
Kita dapat memulainya dari hal-hal kecil. Matikanlah ponsel pintar dan perangkat lainnya di saat ibadah; jangan berdalih bahwa perangkat-perangkat itu memudahkan anda beribadah. Jangan kompromikan pendidikan agama anak-anak anda dengan beragam dalih dan alasan. Berdirilah di sisi kebenaran. Yang salah tidak dapat dibenarkan dengan perbuatan atau pembenaran manusis. Pilihlah Allah, dan Ia akan memimpin kita dalam jalan-Nya. Berjalanlah dengan tekun dan taat, dan ia akan menyediakan segala yang anda perlukan.
Memberi Prioritas dan Menebus Waktu
“Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.”
Rasul Paulus mengingatkan kita untuk mengambil setiap kesempatan untuk mengatur waktu kita dengan bijak. Gunakanlah waktu-waktu yang ada dengan baik untuk membangun iman dan kerohanian kita. Pandanglah kepada Yesus sebagai teladan dalam mengatur waktu.
Lebih penting lagi, di tengah kesibukan hidup kita, luangkanlah waktu untuk mencari Allah dalam keheningan, perenungan, dan doa, untuk mengisi daya rohani anda, seperti yang dilakukan Yesus. Biarkanlah jam dinding itu berhenti di tengah waktu kita utuk mencari, merenungkan, dan berdoa, sembari kita memulihkan kekuatan untuk mengalahkan pengujian waktu yang menggempur kita dimasa modern ini.
Kesimpulan
Pengkhotbah 3:15b memberi-kan peringatan yang menyadarkan bahwa “Allah mencari yang sudah lalu”. Jangan kita berpikir bahwa kita dapat melarikan diri dari tangung jawab dan upah serta akibat atas perbuatan kita. Di hadapan Allah, kita harus bisa mempertanggungjawabkan diri kita dan segala perbuatan kita.
Saaat kita berdiri dihadapan Tuhan Allah, mampukah kita berkata kepada Tuhan kita, “Engkau telah memberikan lima talenta (waktua). Inilah pertanggungjawaban dan hasil talenta ini untuk-mu, Tuhan.” Atau mungkin kita akan merasa malu karena mengetahui bagaimana kita telah mengabaikan kerohanian kita.
Karena itu, berdoalah dan memohon kepada Allah untuk menolong kita dan memberikan kita hidup sampai sekarang ini. Maka gunakanlah waktu yang kita miliki setiap hari sebaik-baiknya. —oOo—